Nurvita Indarini - detikNews
Gunung Merapi pun dipercaya sebagai keraton makhluk halus. Karena itu ada sejumlah tempat di Gunung Merapi yang dikenal angker atau sakral karena ditunggui oleh makhluk halus. Menurut sosiolog Prof Heru Nugroho, mitos-mitos itu ada yang muncul karena pengetahuan tradisional masyarakat, namun ada juga yang sengaja dimunculkan dan dipelihara demi keberlangsungan kekuasaan sang penguasa.
Berikut ini wawancara detikcom dengan staf pengajar di jurusan Sosiologi UGM ini, Selasa (2/11/2010):
Mengapa mitos begitu lekat dengan masyarakat yang tinggal di sekitar Merapi?
Ada pengetahuan tradisional penduduk lokal yang tinggal di sekitar Merapi. Mereka memercayai bahwa Merapi memiliki nyawa sebagai penunggu sehingga untuk menghindari kemarahan penunggunya (warga) perlu mengadakan ritual dan juga memberikan sesaji. Nah, yang bisa berhubungan dan mengetahui kehendak penunggu hanya orang-orang tertentu, sedang rakyat hanya percaya dan mengikuti kehendak elite-elite spiritual.
Karena itu, para elite spiritual lokal kemudian memiliki previlege (hak istimewa) dalam komunitasnya. Mitologi Merapi juga direproduksi Keraton Mataram, sengaja dipelihara demi tegaknya kekuasaan kerajaan. Dari sini ditegaskan, penunggu Merapi adalah Kiai Sapu Jagad dan penguasa Laut Selatan adalah Kanjeng Ratu Kidul.
Demi keberlangsungan kekuasaan Mataram, maka raja Mataram harus berkolaborasi dengan dengan para penguasa lainnya. Yakni dengan menjadikan Kiai Sapu Jagad sebagai mitra politik dan Kanjeng Ratu Kidul sebagai permaisuri. Ada ritual yang kemudian dilakukan masyarakat baik di Merapi maupun di Laut Selatan agar para penguasa tidak marah.
Selain mengetahui Merapi dari mitos, ada pula pengetahuan modern yang direproduksi oleh orang-orang universitas dan digunakan pemerintah untuk menjadi landasan kebijakannya. Jadi dasarnya adalah science, yang dalam hal ini adalah ilmu tentang kegunungapian. Science ini dapat mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi perilaku Merapi.
Mengapa Merapi sering kali dikaitkan dengan hal-hal gaib?
Itu karena dulu semua dijelaskan dengan mistis. Meskipun sekarang ada juga yang begitu. Itu kembali lagi pada kepercayaan tradisional masyarakat. Ada sebagian orang yang pemahamannya terbuai dengan cerita mistis yang didengarnya.
Cerita-cerita rakyat yang turun temurun diceritakan juga membantu kepercayaan akan hal-hal yang mistis itu ada, sehingga sebagian ada yang masih tetap percaya. Di antropologi kan juga ada yang meneliti masyarakat bahwa ada yang memiliki kepercayaan terhadap Gunung Merapi.
Jadi mitologi sengaja dipelihara?
Ini berkaitan dengan sistem kepemimpinan tradisional di Yogyakarta. Buktinya setelah Mbah Maridjan tidak ada lantas ada kabar telah ditunjuk orang baru untuk menjadi juru kunci Merapi. Itu melestarikan mitologi Jawa yang berkaitan dengan Keraton, Gunung Merapi dan Laut Selatan.
Lalu karena dilestarikan, maka jadi kepercayaan beberapa orang, dan secara tradisional membuat sebagian dari mereka merasa sangat hormat kepada Keraton. Bahkan mereka masih melakukan ritual-ritual sebagai bagian dari kepercayaan itu.
Ini menjadi basis kekuasaan, legitimasi melalui klenik dan mitos yang dibangun. Misalnya mitos bahwa Merapi diberi sesaji setiap tahun, juga sesaji di Laut Selatan. Ini semua agar selaras dan mendukung kekuasaan kerajaan.
Apakah kepercayaan ini mendarah daging hingga ke generasi muda?
Pengetahuan adalah kekuasaan. Siapa yang lebih pandai, lebih pintar, lebih bisa memberi penjelasan akan memegang kekuasaan. Soal mitos ini, tidak semuanya terpengaruh.
Banyak juga kalangan orang tua yang tidak memahami mendalam. Ini merupakan mobilisasi politik bagi keistimewaan DIY. Tidak semuanya menerima mitologi ini. Kalau misalnya semua tampak menerima, itu lebih karena ada kebiasaan yang ewuh pakewuh di Yogya. Ada yang menentang tapi tidak mau bersuara karena sungkan, tidak enak, dan itu bagian dari kultur.
Meskipun banyak yang berpendidikan menengah ke atas tapi tetap saja heboh dengan penampakan awan berbentuk petruk?
Awan bisa berbentuk apa saja. Tapi karena ada mitologi, yang mana dulu ada mitologi untuk menyelamatkan orang. Agar merasa pasti, lalu misalnya diberikan sesaji. Dulu banyak yang memberikan sesaji untuk menolak bala.
Itu lebih kepada keyakinan saja. Nah apakah persembahan itu diterima atau ditolak lalu ditafsirkan dengan melihat awan. Dan ini masih muncul hingga kini, dan banyak yang mengait-ngaitkan fenomena alam dengan sesuatu.
Bagaimana Anda melihat kematian Mbah Maridjan yang dalam posisi sujud menghadap selatan yang juga menjadi perbincangan?
Itu semiotiknya macam-macam. Banyak silang pendapat dan penafsirannya tidak terhingga Tapi menurut saya itu bisa dijelaskan secara rasional. Begini, jika ada serangan awan panas, maka agar tidak langsung terkena, kita harus memposisikan tubuh menjadi lebih rendah, itu bisa dengan jongkok, duduk, atau sujud. Itu menurut saya karena saya lebih melihat posisi itu adalah mekanisme perlindungan tubuh.
Lain lagi dengan kawan saya yang menyatakan Mbah Maridjan mau lari tapi keburu jatuh, dan jatuhnya dalam posisi sujud.
Dengan tetap memelihara mitologi, masyarakat akan semakin sulit untuk diajak berpikir rasional?
Mbah Maridjan dan beberapa warga sekitarnya enggan meninggalkan rumahnya karena percaya Merapi tidak akan apa-apa. Ini karena kepercayaan mistis juga dan juga karena keterikatan mereka dengan ekonomi sehingga membuat mereka sulit meninggalkan rumahnya. Karena mereka punya tanah, punya ternak, dan sebagainya.
Seharusnya bukan alam yang memahami kita, tapi kita yang memahami alam. Saatnya kita hidup berdemokrasi dengan alam. Karena itu memang sebaiknya kita menjaga jarak, dengan tinggal tidak terlalu dekat dengan puncak gunung. Padahal gunung itu punya hak untuk mengalirkan lahar. Sebelum ada banyak manusia, lahar sudah mengalir lebih dulu.Ini harus dipahami secara rasional.
Ini seharusnya menjadi kebijakan pemerintah juga. Pemerintah harus bijak merelokasi penduduk dari daerah berbahaya. Jangan kemudian menjadikan ini sebagai ajang partai politik untuk nyumbang, DPR datang ramai-ramai. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana warga terselamatkan. Kalau saja Merapi bisa bicara, pasti dia bilang saya nggak bermaksud membuat korban karena bukankah saya punya hak untuk muntah.
(vit/fay)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar